Baru-baru ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggelar cara diskusi publik bertajuk “Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di DKI Jakarta”,
Pada kesempatan diskusi kali ini, acara turut dihadiri oleh multi stake holders, mulai dari akademisi, pengamat, pemerintah, BPH Migas, kalangan milenial, jurnalis, dan lain-lain. Diskusi tersebut disiarkan secara live via KBR dan direlay oleh ratusan radio jaringan di daerah.
Dalam diskusi tersebut menyimpulkan beberapa catatan adalah masyarakat sering salah kaprah, dengan membeli BBM yang lebih murah, tetapi penghematannya tidak signifikan. Sedangkan dampaknya justru bisa lebih besar. Hal ini sebenarnya justru membuat masyarakat merugi, karena harus mengeluarkan biaya maintenance yang lebih tinggi
Di sisi lain ada fenomena kesadaran di kalangan generasi muda, bahwa BBM bersubsidi akan merusak mesin, mesin jebol sehingga mereka lebih memilih menggunakan bbm yang lebih bagus, seperti pertamax.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI mengatakan bahwa Pemerintah di dorong lebih konsisten dalam kebijakannya, misalnya dalam migrasi ke BBG. Menurutnya, penggunaan BBG itu bagus, ORGANDA mendukung, tapi pemerintah sendiri tidak konsisten. Sehingga jangan sampai diplesetkan bahwa BBG adalah bolak balik gagal. BBG memang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan.
“BBM bersubsidi punya dua dimensi, adil secara ekonomi dan adil secara ekologis. Jika merujuk pad UU ttg Energi, maka subsidi energi peruntukannya adalah untuk masyarakat tidak mampu. Jadi jika BBM bersubaidi mayoritas digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor, maka ini bentuk ketidakadilan dari sisi ekonomi. Dari sisi ekologis, bbm bersubsidi adalah bentuk ketidakadilan ekologis, sebab yang berhak atas subsidi energi adalah energi baru terbarukan, bukan energi fosil seperti BBM, apalagi BBM dengan kadar oktan yang rendah,” jelas tutur Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya Jumat (18/11/2022).
Dia menambahkan perihal ini, sekiranya agar pemerintah mengembangkan transportasi umum yang baik, nyaman, murah, sehingga ketika terjadi migrasi dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum masal, akan menekan tingkat polusi di kota kota besar, khususnya Jakarta
“Untuk itu, harus ada kebijakan berupa insentif dan disinsentif bagi warga. Sebagai contoh, bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, maka bisa dikenakan tarif parkir progresif dan lebih mahal. Hal ini sudah mulai diujicobakan di Jakarta. Daerah lain bisa menerapkan hal yang sama,” ujar Tulus Abadi.
Sementara, melihat upaya pemerintah untuk mempromosikan kendaraan listrik, saat ini belum cukup efektif untuk mengurangi polusi di Jakarta, tersebab jumlahnya masih minimalis, dibanding jumlah kendaraan bermotor yang berbasis bensin.
“Oleh karena itu, yang mendesak untuk mengurangi polusi di Jakarta adalah migrasi ke angkutan umum, dan mengganti /menggunakan bahan bakar yang berkualitas baik dan ramah lingkungan,” pungkasnya. (FA)