Merujuk catatan Organisasi Global Carbon Project melalui laporan Global Carbon Budget di tahun 2022 terjadi peningkatan produksi emisi karbon yang berasal dari energi fosil yaitu sebanyak 40,5 GtCO2. Jumlah ini meningkat sebanyak 0,7% dari total emisi karbon pada tahun 2021 yakni sebesar 40,2 GtCO2.
Untuk itu, guna menekan tingginya emisi karbon, saat ini berbagai negara tengah mengembangkan sebuah teknologi bernama Carbon Capture and Storage (CCS) yang dapat menangkap dan menyimpan karbon di dalam permukaan bumi. Menurut dari laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini Indonesia memiliki satu lapangan CCS yang telah beroperasi di wilayah Gundih, Jawa Tengah dan disebut mampu menyimpan 300 juta ton CO2.
Turut berpartisipasi dalam mempelajari pengembangan CCS, mahasiswa Teknik Geofisika Universitas Pertamina, Muhammad Rafif Athalah, Ivan Marcelino Purba, dan Rahmayani, berhasil menoreh prestasi juara pertama dalam International Undergraduate Geophysics Competition kategori Interpretasi Seismik untuk CCS yang dihelat oleh Institut Teknologi Bandung.
Di ajang perlombaan ini, Rafif dan kawan-kawan berhasil mengungguli dua tim dari Institut Teknologi Bandung yang meraih posisi Juara 2 dan Juara 3, serta perwakilan dari universitas kenamaan Indonesia lainnya seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Brawijaya, dan Universitas Syiah Kuala.
“Dalam kompetisi ini, kami ditantang untuk menganalisis serangkaian data bawah permukaan dari beberapa sumur dan lintasan penampang seismik. Dari data tersebut, kami harus menentukan daerah yang cocok diinjeksikan CO2 ke bawah permukaan bumi serta potensi kapasitas penyimpanan CO2 dalam penerapan teknologi CCS,” kata Rafif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, (24/2/2023).
Agar CCS dapat diterapkan dengan baik dan aman, Rafif menjelaskan, ada sekumpulan kriteria yang harus diperhatikan, salah satunya harus memerhatikan struktur geologi bawah permukaan pada area penelitian. Formasi yang akan diinjeksikan CO2 tidak boleh berada pada sesar atau patahan yang bersifat konduit (jalur rekahan) karena tanah di jalur ini cenderung tidak stabil. Jika terjadi reaktivasi pada sesar tersebut kemungkinan bisa menyebabkan kebocoran CO2.
Dia menambahkan, bersama tim dirinya menganalisis data menggunakan referensi kalkulasi dari Department of Energy Norwegia. Dari hasil analisis ini, mereka belajar bagaimana kriteria sebuah formasi yang cocok untuk menyimpan CO2 dalam bentuk fluida super-kritikal, berapa ukuran tebal batuan penudungnya, serta kriteria lain yang menunjang keselamatan penyimpanan CO2 di bawah permukaan.
“Berdasarkan analisis struktur, kami mengetahui bahwa pada formasi pertama, reservoir berada di kedalaman dangkal sehingga biaya operasional menjadi lebih murah. Di sisi lain, pada formasi ini terdapat banyak sesar. Sedangkan pada formasi kedua, tidak ditemukan banyak sesar, namun reservoir berada di kedalaman yang dalam sehingga biaya operasional cenderung lebih mahal. Maka dari itu, kami merekomendasikan injeksi dilakukan pada formasi kedua agar injeksi CO2 lebih aman,” ungkap Rafif.
Muhammad Husni Mubarak Lubis, S.T., MS., selaku dosen pembimbing Rafif dan tim mengapresiasi capaian ketiga mahasiswa tersebut.
“Partisipasi mahasiswa dalam ajang kompetisi seperti ini sangat baik untuk mengasah hard skill sekaligus soft skill mahasiswa. Karena dalam kompetisi tentu mahasiswa akan berlatih melakukan analisis data juga bekerja sebagai tim dan mengelola sebuah proyek,” pungkasnya. (FA)
Comment