Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia dengan potensi risiko bencana. Namun dengan sumber daya yang kita miliki, Indonesia dapat mendorong solusi dekarbonisasi dan ekonomi berkelanjutan.
Terkait itu, New Energy Nexus Indonesia hadirkan hasil riset yang melaporkan jumlah pertumbuhan startup teknologi energi bersih atau cleantech makin meredup karena hambatan pendanaan dan iklim regulasi dalam negeri yang dinilai kurang mendukung.
New Energy Nexus merupakan ekosistem akselerator dan pendanaan global yang mendukung pengusaha energi bersih, mulai dari teknologi baru, hingga penerapan dan adopsi energi bersih.
Sementara, di Indonesia New Energy Nexus bekerja untuk mendukung pengembangan ekosistem yang dapat mendukung kebutuhan inovator, startup, pengusaha, dan berbagai pemangku kepentingan di sektor energi bersih dan solusi iklim.
Pamela Simamora, Manajer Kebijakan dan Advokasi Nexus Indonesia, mengatakan dari 50 startup cleantech yang disurvei, 43 di antaranya atau 86% masih mengandalkan tabungan pribadi para pendiri dengan tingkat ketahanan di bawah 12 bulan. Sementara dari 35 responden, hanya 11 yang mampu bertahan lebih dari 12 bulan.
“Startup cleantech banyak mengalami masalah finansial dengan kurang lebih 12 bulan, bahkan hanya enam bulan saja,” ucap Pamela dalam acara diskusi di Nalar Live Jakarta, belum lama ini.
Riset tersebut juga mendapati temuan hanya satu startup cleantech, yakni Swap Energy, yang sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A. Sementara 49 startup cleantech lainnya masih berupa untuk menggalang dana.
Survey Nexus Indonesia terhadap 50 startup cleantech menunjukkan bahwa mayoritas startup cleantech di Indonesia masih berada di tahap konsep dan demonstrasi (pilot). Sekitar 16% dari startup cleantech yang disurvei mengalami kegagalan di tahap pengembangan awal ini.
Nexus Indonesia juga mendapati temuan hanya 4 dari 8 Venture Capital (VC) di Indonesia yang memiliki portfolio pada startup cleantech.
Senada, dari segmen investasi berdampak (impact investing), sektor energi bersih hanya mendapatkan porsi sekitar 1% dari total investasi berdampak pada 2013-2020. Empat VC itu adalah East Ventures, Alpha JWC Ventures, Kejora Kapital dan Saratoga Investama Sedaya.
Lebih lanjut, riset tersebut juga menunjukan adanya regulasi di sektor energi yang kurang mendukung menjadi alasan utama keengganan investor berinvestasi di startup cleantech.
Satu di antaranya adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Menurut Pamela, regulasi tersebut membuat investasi di sektor pengembangan PLTS atap kurang kondusif karena dinilai mempersulit proses instalasi PLTS atap di skala rumah tangga. Menurutnya, ketetapan tersebut berdampak pada pemasangan PLTS atap skala kecil menjadi tidak layak secara ekonomis.
Guna menggaet keterlibatan startup cleantech, Nexus Indonesia siap memberikan pendanaan hibah maksimum US$ 250.000 bagi startup cleantech yang mampu mendorong percepatan transisi energi di Indonesia. Modal tersebut diharap mampu untuk meningkatkan daya riset dan pengembangan startup cleantech,” tutup Pamela. (FA)