Berdasarkan ketentuan WHO, layanan yang berkualitas adalah ketika pasien menerima perawatan yang sesuai kebutuhan medis mereka dengan dosis yang sesuai kebutuhan individual, dalam jangka waktu yang memadai dan informasi yang akurat, serta biaya yang serendah mungkin.
Sayangnya, kondisi ini diperburuk dengan rendahnya pemahaman pasien bahwa mereka berhak untuk kritis terhadap setiap rekomendasi tindakan medis dan pengobatan.
“Pasien mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan atau memahami rekomendasi medis yang diberikan oleh dokter, sehingga mereka cenderung menerima semua tindakan yang disarankan tanpa mempertimbangkan apakah tindakan tersebut benar-benar diperlukan,” kata Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik dalam sebuah diskusi Investortrust Power Talk bertema “Pentingnya Layanan Kesehatan yang Layak dan Tepat bagi Publik”saar di temui di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, (31/7/2024)
Dikesempatan yang sama, Primus Dorimulu, Chief Excutive Officer PT Investortrust Indonesia Sejahtera selaku publisher Investortrust.id mengatakan apa yang diungkapkan Agus Pambagio soal overtreatment makin menjadi concern banyak pihak. Concern ini, kata Primus, makin mengemuka menyusul hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya Fraud atau kecurangan terhadap jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh tiga rumah sakit (RS) swasta di Jawa Tengah (Jateng) dan Sumatera Utara (Sumut). Fraud telah merugikan keuangan negara dalam hal ini BPJS Kesehatan hingga Rp 35 miliar.
“Fraud yang ditemukan KPK semakin menguatkan dugaan publik, ada praktik-praktik over utilitas atau over treatment yang dilakukan pihak rumah sakit. Sejumlah kalangan bahkan menduga fenomena over utilitas atau over treatment telah terjadi secara sistemik di banyak rumah sakit, dengan alasan untuk menutupi biaya investasi pengadaan alat kesehatan yang relatif tinggi,” jelas Primus Dorimulu.
dr Purnamawati Sujud , SP.A(K), MMPAED dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP) yang juga praktisi medis menyampaikan, semua orang berhak mendapatkan layanan kesehatan yang terbaik seperti yang ditetapkan WHO.
“Sederhananya, layanan kesehatan yang berkualitas dan aman adalah layanan yang berbasis bukti (evidence-based medicine),” tegas dr Wati.
Senada dengan dr Wati, dr. Emira E. Oepangat, praktisi medis yang juga tergabung dalam Yayasan Orang Tua Peduli menyampaikan bahwa layanan yang berbasis bukti dipastikan akan menghasilkan layanan kesehatan yang berkualitas dan aman.
Disampaikan dr Emira, layanan yang berbasis bukti (evidence-based medicine) akan merangkum sejumlah tindakan dari penyedia layanan kesehatan berupa Rekam Medis yang Lengkap, Benar, dibuat dengan jelas dan ringkas, serta dengan persetujuan pasien. Berikutnya transparansi, manajemen kasus, dan jalur klinis juga termasuk elemen penting dalam sistem layanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien, efisiensi, dan koordinasi antar penyedia layanan kesehatan.
“Manfaat dari Evidence-Based Medicine (EBM) mencakup pengendalian biaya yang dapat mencegah penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan, serta memastikan penggunaan data yang berpusat pada pasien untuk meningkatkan efektivitas klinis. Selain itu, EBM mendukung interoperabilitas yang telah diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan, memungkinkan pertukaran data yang lancar dan transparan, serta menyediakan data seumur hidup dan terbuka untuk penelitian dan inovasi,” ujar dr Emira.
Bayi-Balita Cenderung Berisiko Alami Overtreatment dan Overmedication
Soal masih terjadinya over treatment, dr Wati mengungkapkan, studi pola peresepan yang dilakukan YOP sejak 2003 sampai 2023 menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti, terutama dalam hal over medication dan over treatment pada penyakit akibat infeksi yang kerap menyerang bayi dan balita.
“Studi kami menunjukkan bahwa masih kerap ditemui perawatan berlebihan yang tidak diperlukan (unnecessary excessive) yang lebih membawa risiko daripada manfaat. Untuk itu salah satu edukasi yang kami lakukan adalah menekankan pada komunitas bahwa terapi itu tidak hanya obat, tetapi juga termasuk nasehat atau saran profesional, terapi non-obat, rujukan atau second opinion, dan kombinasi semuanya,” tutur dr Wati.
Menanggapi sejumlah kasus dan kecenderungan perawatan dan layanan kesehatan yang mengarah pada overtreatment, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo, S.Pi, MM mengingatkan kembali para tenaga layanan dan fasilitas kesehatan untuk kembali pada tujuan utama dari penyediaan layanan kesehatan.
“Para tenaga layanan kesehatan dalam upaya pemberian layanan kesehatan harus mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dalam bentuk Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu”.
Rahmad juga mengingatkan bahwa overtreatment juga bisa berimplikasi hukum bagi pelaku industri layanan kesehatan yang secara sengaja memberikan pelayanan melebihi standar pelayanan yang seharusnya diterima pasien.
“Memang harus ada efek jera. Overtreatment, juga termasuk petugas layanan kesehatan yang bekerja sama dengan industri farmasi saat memberikan layanan kesehatan, bisa dipidanakan. Ada kasus tenaga medis menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi, ini tentu bisa dipidanakan,” tegas Rahmad. (FA)
Comment