by

Bonus Hari Raya Adalah Apresiasi, Bukan Hak yang Harus Dipaksakan

Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara menyampaikan apresiasi terhadap perhatian yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto yang mengimbau perusahaan layanan pengantaran berbasis aplikasi untuk memberi Bonus Hari Raya (BHR) dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan pekerja dan kemampuan finansial perusahaan yang disampaikan di Istana Negara, Senin (10/3/2025) lalu.

Modantara juga mencermati poin-poin pada Surat Edaran Kemnaker Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi dimana terdapat ketidak-selarasan dengan arahan dari Bapak Presiden dan cenderung tidak menggambarkan pemahaman terhadap kompleksitas industri dan ekosistem, di antaranya:

BHR untuk seluruh Mitra terdaftar resmi
Imbauan SE berbeda dengan arahan Presiden bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif. Pemberian BHR kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi ini tidak mencerminkan keberpihakan kepada mitra yang telah bekerja keras. Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR? Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif? Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta tergantung bagaimana kemampuan finansial perusahaan, bukan sekadar telah melakukan pendaftaran.

Perhitungan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir bagi mitra produktif
SE tidak mengejawantahkan imbauan Presiden dengan tepat bahwa BHR diberikan dengan melihat kemampuan finansial perusahaan. Persentase 20% ini ditentukan sepihak dan sangat memberatkan bagi sebagian besar platform. Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud “pendapatan bersih”, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya. Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase, melainkan cukup menyerahkan kepada perusahaan sesuai kemampuan finansial mengingat setiap platform memiliki bisnis model dan struktur biaya operasional yang berbeda-beda.

BHR untuk Mitra di luar kategori produktif diberikan secara proporsional sesuai kemampuan perusahaan
Dikarenakan adanya himbauan poin satu dalam SE yang menyatakan BHR diberikan kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi, maka himbauan ini memberikan ekspektasi kepada mitra yang sudah lama tidak aktif atau aktif sebentar di berbagai platform namun terdaftar akan tetap memperoleh BHR. Himbauan ini menyuburkan ekspektasi keliru yang mengakibatkan friksi-friksi di lapangan yang tidak perlu karena sejatinya, sesuai arahan Presiden, jika mitra tidak aktif tidak perlu memperoleh BHR.

Kebijakan BHR tidak boleh mengurangi manfaat lain yang diberikan perusahaan yang diamanatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Dapat dipahami dari SE ini bahwa sudah terdapat banyak manfaat yang diamanatkan oleh Pemerintah kepada platform kepada mitranya. Maka sudah sewajarnya himbauan BHR diserahkan sebagai kebijakan perusahaan dengan semangat berbagi. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) perlu mengevaluasi banyaknya tuntutan manfaat yang dimandatkan Kemnaker agar diberikan oleh platform kepada mitranya, apakah kewajiban tersebut justru mengganggu keseimbangan finansial dan keberlanjutan ekosistem jika terus menerus dipaksakan. Kami mencatat bahwa beberapa aplikator telah memberikan tanggapan terkait imbauan ini dengan mempertimbangkan aspek operasional dan model kemitraan yang diterapkan. Sebagian aplikator menyatakan akan mengevaluasi mekanisme pemberian insentif tambahan atau bentuk dukungan lain yang dapat membantu mitra, namun ada juga yang menyatakan ketidakmampuan finansial untuk menuruti kebijakan ini.

Modantara menegaskan bahwa surat edaran maupun imbauan tersebut bukanlah regulasi yang mengikat secara hukum. Pemberian BHR tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha. Pemerintah tentunya tidak dapat memaksa perusahaan swasta yang merugi untuk memberikan bonus karena jika perusahaan tersebut pailit nantinya Pemerintah pun tidak dapat memberikan suntikan bantuan. Jika pun memberi bonus, itu sudah merupakan suatu itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya. Maka setiap perusahaan berhak menentukan kriteria produktivitas dalam mempertimbangkan pemberian bonus ini.

Modantara memahami sebagai negara demokrasi, kebebasan penyampaian pendapat diakui sebagai hak dasar bernegara, namun Modantara menegaskan perlunya kebijaksanaan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam mendengar dan memilah masukan yang disampaikan apalagi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hajat hidup masyarakat. Banyaknya pihak yang mengatasnamakan serikat dan perwakilan pengemudi perlu dicermati dengan seksama keabsahan suaranya dalam merepresentasikan mitra pengemudi aktif.

Jika kebijakan hanya didasarkan untuk semata-mata memuaskan seruan dari pihak-pihak yang tidak berada di dalam ekosistem ataupun pada pihak yang tidak merepresentasikan mayoritas mitra pengemudi tentulah dapat berakibat fatal. Sebagai contoh, seruan suatu serikat bahwa BHR harus diberikan kepada seluruh mitra pengemudi bahkan bagi yang sudah putus mitra, menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian terhadap keberlangsungan industri ini. Dimanakah logika mitra yang putus kemitraan karena melakukan tindakan pelanggaran pidana, perdata, asusila seharusnya mendapatkan BHR? Dimana ada perusahaan mampu memberikan Bonus kepada mitranya yang sudah bertahun-tahun tidak berusaha kemudian aktif sementara untuk hanya mendapatkan 1-2 order di bulan ini? Apakah ini adil bagi mitra lain yang sudah bekerja sangat keras? Masukan-masukan seperti ini justru mendorong dan memberikan insentif perilaku-perilaku yang tidak bertanggung jawab yang mencoba memanfaatkan itikad baik dari Platform dan Pemerintah di momen yang fitri ini. Jika terus dilanjutkan, maka dapat merugikan finansial perusahaan dan dapat membahayakan masyarakat selaku pengguna platform.

Contoh lainnya adalah seruan dan tekanan off-bid massal yang sempat digaungkan oleh kelompok tertentu mengatasnamakan serikat pengemudi online justru memperoleh penolakan dari berbagai komunitas mitra aktif dan juga terbukti dari jumlah yang memenuhi seruan sangatlah sedikit yakni sangatlah jauh dibawah 0,01%. Peran Pemerintah sangatlah penting dalam memberikan atensi dalam porsi yang tepat dan sewajarnya karena jika terlalu gegabah, kondisi-kondisi ini dapat berdampak pada munculnya friksi dengan mitra aktif, platform dan masyarakat, mengganggu stabilitas, serta menurunnya kepercayaan investor terhadap kepastian berusaha di Indonesia karena kebijakan sangatlah mudah diubah.

Lebih jauh, Modantara menyoroti tuntutan agar status mitra diangkat menjadi pekerja tetap adalah narasi yang menyesatkan dan tidak mempertimbangkan realitas industri. Perlu dipahami, menjadi pekerja tidak serta merta hanya memperoleh hak namun juga datang dengan pemenuhan kewajiban dan persyaratan kerja layaknya pekerja industri formal. Hal ini karena kemampuan perusahaan menyerap tenaga kerja akan menjadi sangat terbatas. Jika kebijakan tersebut diterapkan, maka jutaan mitra yang selama ini menikmati fleksibilitas, akan kehilangan sumber pendapatan alternatif mereka. Para ibu tunggal, mahasiswa yang mencari penghasilan tambahan, atau bahkan korban PHK akan kehilangan kesempatan berusaha yang ditawarkan oleh platform.

Jika tetap dipaksakan, maka skenario terburuknya dan sudah ada banyak contoh di negara lain. Di Swiss, jumlah pengemudi Uber Eats turun 67% setelah putusan pengadilan. Di Spanyol, Glovo hanya mempertahankan 17% mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar. Di Inggris, keputusan Mahkamah Agung membuat jumlah pengemudi Uber berkurang 85.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan serupa perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar tidak membatasi kesempatan kerja bagi jutaan mitra.

Modantara sangat berharap dalam membuat kebijakan ekonomi gig, Pemerintah mengedepankan azas kebermanfaatan serta bijaksana dengan mendasarkan pada data yang objektif dan kajian dampak yang mumpuni, serta mendengar berbagai perspektif melalui dialog dari seluruh pemangku kepentingan tidak hanya dengan segelintir pihak. Sebagai perbandingan di Singapura, konsultasi dan dialog, bukan sekadar survey, dilakukan dengan setidaknya 6% dari total mitra untuk memastikan keterwakilan. Selain itu, diskusi dan dialog juga perlu dilakukan dengan seluruh pemangku kepentingan pada ekosistem ini seperti mitra umkm, pengguna, serta platform yang benar-benar memahami industri dan memiliki peran dalam menjaga keberlangsungan ekosistem.

Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, mengatakan menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini.

“Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif,” kata Agung Yudha dalam keterangan resminya belum lama ini.

Ke depannya, pemerintah perlu menggandeng pihak-pihak yang memiliki relevansi dan kredibel dengan kebijakan yang akan diambil, serta benar-benar merupakan bagian dari ekosistem. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan dapat diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan polemik yang berpotensi merugikan ekosistem industri digital. Keputusan yang tepat akan memberikan keseimbangan antara dukungan untuk mitra dan keberlanjutan industri, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Modantara mendorong dan mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari solusi terbaik melalui pendekatan yang inklusif dan berbasis dialog, untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi mitra dan industri secara keseluruhan. (FA)