Bagi kebanyakan orang, bernapas mungkin terasa sederhana. Namun bagi ribuan pasien Hipertensi Paru di Indonesia, setiap tarikan napas adalah perjuangan, dan setiap helaan adalah anugerah.
Di momen Bulan Kesadaran Hipertensi Paru 2025, MSD Indonesia bersama Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI) mengajak seluruh pihak untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian terhadap penyakit langka, kronis, dan mematikan1 ini, sekaligus mendorong akses pengobatan yang optimal agar para pasien dapat menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik.
Hipertensi Paru merupakan kondisi langka dan serius yang ditandai dengan tekanan darah tinggi pada pembuluh darah paru (arteri pulmonalis), sehingga memaksa jantung kanan bekerja lebih keras untuk memompa darah ke paru-paru. Tanpa penanganan, kondisi ini dapat berujung pada gagal jantung kanan dan komplikasi yang mengancam jiwa. Bersifat progresif dan fatal , Hipertensi Paru memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dengan sekitar sepertiga dari total penderitanya meninggal dalam tahun pertama setelah diagnosis dan lebih dari setengah kematian terjadi dalam lima tahun.
Managing Director MSD Indonesia, George Stylianou menyampaikan, peringatan Bulan Kesadaran Hipertensi Paru mengingatkan kita semua bahwa masih banyak pasien yang setiap hari berjuang untuk sekedar bernapas.
“Di MSD, kami percaya bahwa tidak ada seorang pun yang seharusnya menghadapi perjuangan itu sendirian. Karena itu, kami berkomitmen untuk terus mendukung Yayasan Hipertensi Paru Indonesia dan para pasien dalam upaya meningkatkan kualitas dan harapan hidup, sekaligus mendorong edukasi berkelanjutan agar semakin banyak orang memahami dan peduli terhadap penyakit ini,” jelas George Stylianou kepada rekan media di Jakarta Kamis (27/11/2025).
Komitmen tersebut sejalan dengan semangat Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI) yang menjadi rumah bagi para pasien Hipertensi Paru untuk saling menguatkan, mendapatkan informasi, serta dukungan. Pasalnya, banyak pasien tidak menyadari dirinya mengalami Hipertensi Paru karena gejala yang samar dan sering kali disalahartikan.
Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), Arni Rismayanti menjelaskan “Banyak pasien setelah bertahun-tahun merasa tidak baik-baik saja, akhirnya baru mengetahui dirinya mengalami hipertensi paru. Mereka datang dalam keadaan lelah, bingung, dan sering kali salah diagnosis. Di YHPI, kami berupaya memastikan tak ada lagi pasien yang merasa sendirian. Di sini, para pasien menemukan rumah, tempat untuk berbagi, saling menguatkan, dan menumbuhkan keyakinan bahwa hidup tetap dapat diperjuangkan,” ujar Arni.
Hipertensi Paru tergolong penyakit langka dengan prevalensi sekitar 15 hingga 30 kasus per satu juta penduduk. Di Indonesia, data YHPI menyebutkan bahwa diperkirakan terdapat sekitar 25.000 pasien. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak, dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian, wanita menjadi kalangan yang paling rentan terkena hipertensi paru.3
Meski berbahaya, Hipertensi Paru masih sering tidak terdeteksi atau salah dikenali.2 Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Hipertensi Paru Indonesia (INA-PH), dr. Hary Sakti Muliawan, Ph.D., Sp.JP, Subsp.P.R.Kv(K), “Gejalanya sering menyerupai penyakit umum seperti asma atau gangguan jantung, sehingga banyak pasien menunggu bertahun-tahun sebelum mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Banyak yang datang dalam kondisi sudah berat karena gejala awal seperti sesak napas yang semakin berat saat beraktivitas dan mudah lelah sering dianggap hal biasa. Padahal, itu bisa menjadi tanda awal Hipertensi Paru”.
dr. Hary menambahkan, edukasi publik dan peningkatan kapasitas tenaga medis perlu diperkuat agar diagnosis dapat dilakukan lebih dini dan akurat. “Keterlambatan diagnosis ini sering membuat pasien kehilangan waktu berharga untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga kondisi mereka sudah memburuk saat akhirnya terdeteksi.”
Di sisi lain, penanganan Hipertensi Paru di Indonesia juga masih dihadapkan pada terbatasnya akses terhadap obat-obatan spesifik.10 “Dari 15 jenis obat Hipertensi Paru yang telah disetujui di dunia, baru ada 5 jenis yang tersedia di Indonesia, dan hanya 2 jenis yang tercakup dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang kesempatan hidup. Kami berharap semua pihak, termasuk pemerintah, dapat membuka jalan bagi akses pengobatan yang lebih luas dan setara bagi seluruh pasien. Karena setiap napas yang diperjuangkan adalah hak untuk hidup, bukan sekadar bertahan,” tegas Arni.
Kisah perjuangan datang dari Yusnita Dewi, seorang pasien Hipertensi Paru yang membagikan pengalamannya. “Sejak kecil saya sudah memiliki masalah pada paru-paru, kemudian sempat menjalani histerektomi, hingga akhirnya terkena COVID-19. Setelah itu, saya mulai merasa mudah lelah, mengalami pembengkakan, dan akhirnya didiagnosis gagal jantung dengan hipertensi paru primer. Saat dokter mengatakan saya harus menjalani terapi seumur hidup, rasanya dunia runtuh, seolah semua harapan saya hilang. Apalagi, tidak semua obat yang saya butuhkan tersedia di Indonesia. Sempat merasa putus asa, namun dukungan dari suami, keluarga, dan komunitas menjadi sumber energi utama yang membuat saya bertahan.”
Mimpi Yusnita sederhana, “Saya berharap para pasien Hipertensi Paru dapat memperoleh akses pengobatan yang lebih baik, serta mendapat dukungan moral dan sosial dari berbagai pihak agar tidak merasa berjuang sendiri. Sehingga kami bisa memiliki satu napas lagi untuk melanjutkan hidup.” (FA)










Comment